Wednesday, July 1, 2009

Pemahaman yang salah tentang loyalitas

. Wednesday, July 1, 2009

Sampai saat ini, salah satu ukuran kesuksesan perusahaan adalah besarnya jumlah pelanggan yang loyal. Dengan meningkatnya pelanggan yang loyal, maka dalam jangka panjang perusahaan akan memiliki peningkatan dalam penguasaan pangsa pasar. Dan ketika ingin melakukan penetrasi ke pangsa pasar baru, perusahaan pun akan menjadi lebih percaya diri.

Misalnya seperti yang terjadi pada Coca-Cola. Setelah sukses mendapatkan loyalitas pelanggannya di Amerika, Coca-Cola menjadi lebih percaya diri melakukan penetrasi ke pasar luar negeri. Akibatnya, terjadi peningkatan pangsa pasar yang siginifikan secara keseluruhan di dunia. Tetapi, betulkah selalu demikian? Ternyata tidak selalu.

Hal ini terungkap dalam buku “Loyalty Myths: Hyped Strategies That Will Put You Out of Business and Proven Tactics That Really Work”. Para penulis buku ini, Tim Keiningham, Lerzan Aksoy, Henri Wallard, dan Terry G. Vavra, mengungkapkan bahwa ada banyak pemahaman tentang loyalitas yang keliru.

Salah satunya adalah pemahaman bahwa dengan meningkatnya loyalitas pelanggan, otomatis akan terjadi peningkatan pangsa pasar. Padahal yang terjadi di lapangan belum tentu demikian. Bahkan bisa terjadi sebaliknya. Perusahaan yang memiliki jumlah pelanggan loyal yang tinggi, bisa memiliki pangsa pasar yang kecil dan eksklusif. Contohnya Harley Davidson. Hal ini diperkuat oleh sejumlah penelitian yang mengungkapkan hubungan yang negatif antara pangsa pasar dengan tingkat kesetiaan konsumen dalam pasar yang heterogen.
Selain pemahaman tersebut, ternyata ada beberapa pemahaman lainnya yang dapat membuat perusahaan keliru. Yaitu pemahaman bahwa konsumen yang loyal cenderung tidak mementingkan harga.

Pemahaman ini jelas membuat perusahaan menjadi kurang memperhatikan faktor harga. Padahal, hasil penelitian yang telah dilakukan memaparkan bahwa ternyata pelanggan yang loyal menginginkan harga yang lebih murah dibandingkan harga yang ditawarkan ke konsumen baru. Nah, berarti ada kekeliruan yang terjadi. Dan bila pemahaman ini semakin dalam memengaruhi kebijakan perusahaan, bukan tidak mungkin dalam jangka panjang jumlah pelanggan yang loyal malah semakin sedikit.

Pemahaman lainnya adalah “satisfaction mirror” yang dikenalkan James Hesskett. Artinya, karyawan yang puas dengan serta merta akan meneruskannya kepada konsumen. Sehingga, akan terjadi kepuasan dan loyalitas terhadap konsumen. Namun, hasil ini tidak sepenuhnya benar. Karena penelitian lainnya menyebutkan bahwa tidak ada korelasi yang positif antara kepuasan karyawan dan loyalitas konsumen. Ini menunjukan bahwa, kepuasan karyawan perlu, tetapi tetap diperlukan strategi yang tepat untuk membangun loyalitas konsumen.

Intinya, melalui buku tersebut, Tim dan Terry berusaha memaparkan berbagai pemahaman yang keliru yang membuat perusahaan percaya begitu saja. Sedangkan, jika sudah percaya, maka perusahaan akan mudah mengeluarkan banyak dana dan sumber daya. Alhasil, akan terjadi kesia-siaan ketika pemahaman di awal ternyata salah atau keliru.

Paul R. Timm, profesor dan pimpinan Organizational Leadership and Strategy The Marriot School of Management, melihat perlunya strategi yang terarah agar hasil yang diinginkan bisa tepat sarsaran. Untuk itu, Paul menulis buku “Seven Power Strategies for Building Customer Loyalty”.

Melalui bukunya, Paul juga memaparkan bahwa sebuah perusahaan kadang membuat kesalahan dan kadang melakukan sesuatu dengan benar. Setidaknya ada tiga kesalahan pemahaman perusahaan terhadap konsumen.

Pertama, konsumen selalu benar. Keyakinan ini membuat perusahaan merasa perlu mengikuti kemauan konsumen dengan membuat produk atau layanan sesuai keinginannya. Padahal, ada kalanya konsumen kurang memahami keinginannya. Sehingga apa yang diinginkan konsumen berbeda dengan apa yang seharusnya menjadi solusi bagi konsumen itu sendiri. Jadi, benar atau salah tidaklah terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana agar bisa selalu memberikan solusi yang tepat bagi konsumen.

Kedua, pemahaman bahwa perlu memperlakukan konsumen secara sama. Bisnis bukanlah sebuah demokrasi, dimana semuanya harus sama rata tiap orang.

Karena nilai tiap konsumen berbeda. Maka, ada konsumen yang nilai-nilainya terhadap produk lebih didominasi harga. Dan ada konsumen yang lebih melihat kualitas dan layanan. Bagi perusahaan pun, total nilai yang diterima perusahaan dari tiap konsumen pun tidak sama. Untuk itu, memperlakukan konsumen secara sama menjadi kontra produktif.

Ketiga, pemahaman bahwa selalu dibutuhkan sebuah usaha yang besar untuk bisa membangun loyalitas pelanggan. Baik itu dana maupun sumber daya yang besar. Padahal tidaklah selalu demikian. Bisa saja dengan membuat langkah sederhana, namun mampu memberikan persepsi positif di benak konsumen. Misalnya saja dengan memberikan layanan yang baik yang mampu membuat konsumen merasa nyaman.

Seperti diketahui, layanan bukanlah sebuah usaha yang membutuhkan dana besar. Namun, efeknya mampu menciptakan ikatan emosional dan hubungan yang kuat dengan konsumen. Jadi, hal kecil dan sederhana ternyata dapat berarti besar bagi konsumen. Dan, pada akhirnya dapat mempengaruhi loyalitasnya kepada perusahaan atau produk.

Nah, menyikapi berbagai pemahaman yang salah terhadap loyalitas konsumen, maka setiap perusahaan perlu berhati-hati. Karena jika mengimplementasikan strategi yang berpijak dari pemahaman yang salah, bukannya terjadi peningkatan loyalitas pelanggan, tetapi malah sebaliknya. Untuk itu, berhati-hatilah terhadap pemahaman yang salah mengenai loyalitas pelanggan


By : Asto Subroto ; http://www.astosubroto.com

0 comments:

Post a Comment