Friday, March 26, 2010

Kerja di rumah ?

. Friday, March 26, 2010
0 comments

Mungkin anak saya heran melihat Bapaknya suka ngantor agak siang, atau selama di rumah masih suka 'mainin lap top', bahkan kadang sampai larut malam di rumah juga masih bekerja.

“Bapak sekarang koq suka berangkat siang sih ?”

“Bapak ngapain sih ?”

“Bapak lagi kerja dik!”

“Bapak malam-malam koq kerja sih, di kantor kerja, di rumah juga kerja…..”

Demikian pertanyaan yang diajukan oleh anak saya yang paling bungsu suatu hari ketika melihat Bapak nya berangkat kerja agak siang, atau ketika di malam hari masih menghadapi lap top di rumah.

Bagi kebanyakan orang, kerja adalah di kantor. Datang pagi atau bila perlu pulang malam. Itu adalah karyawan teladan (menurut versi orang kebanyakan), padahal di kantor banyak waktu yang digunakan untuk mengobrol sehingga malah tidak produktif. Banyak yang tidak memanfaatkan kantor dengan maksimal. Mereka senang bekerja sampai malam karena memperoleh lembur. Bahkan sengaja memperlambat pekerjaan, sengaja pulang malam supaya memperoleh lembur.

Kantor memang masih tetap diperlukan untuk mendiskusi dan mengkoordinasikan tugas atau hal-hal khusus yang memerlukan tatap muka. Bahkan tatap muka sangat diperlukan karena komunikasi lebih intensif, sosialisasi menjadi lebih mudah, dan menjadi lebih akrab.

Namun beda dengan karyawan telatan (e..eh, maksudnya telat ke kantor), bisa jadi lebih produktif karena pagi-pagi menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Waktu bagi mereka sangat bernilai sehingga benar-benar memanfaatkannya untuk bekerja. Bisa pulang cepat karena memang pekerjaannya sudah selesai karena mereka menggunakan waktu kerja di kantor dengan efektif.

Dengan kemajuan teknologi yaitu jaringan internet dan fasilitas lap top yang disediakan oleh perusahaan, rasanya kerja tidak harus melulu di kantor. Bahkan saya melihat orang-orang sibuk mendiskusikan sesuatu di kantin atau tempat-tempat tertentu lainnya (ahh.. ini sibuk diskusi masalah kerja atau facebook-an ?).

Inilah paradigma baru dalam bekerja. Memang untuk bidang-bidang tertentu, bekerja tidak melulu harus di kantor. Kerja di rumah mungkin lebih efektif daripada di kantor, misalnya untuk dosen, atau konsultan di mana dibutuhkan ketenangan dan konsentrasi dalam bekerja. Mungkin dosen membutuhkan literature yang cukup banyak untuk referensi karya tulisnya atau untuk menyusun materi kuliahnya. Para manajer mungkin lebih efektif menggunakan waktunya di rumah dalam membuat konsep-konsep pekerjaan tertentu.

Kerja bagi sebagian orang adalah “hasil bekerja”, bukan datang pagi dan pulang sore atau pulang malam. Ada yang kelihatan sibuk dari pagi sampai sore, padahal tidak jelas apa yang dikerjakan.

namun demikian aparadigma ini harus disikapi hati-hati, karena tidak semua orang jujur, dikatakan kerja di rumah tapi malah entah ke mana ???.

Siapkan kita dengan budaya seperti itu ? Nampaknya belum !!!

• Masalahnya adalah kepercayaan. Kita sering tidak percaya kepada orang lain, apakah mereka benar-benar bekerja di rumah atau malah keluyuran entah ke mana.
• Staf/ karyawan dengan mudah bisa mencari-cari alasan untuk bekerja di rumah karena lebih bebas mengatur waktunya.
• Tanggung jawab pribadi orang tidak sama. Masih banyak karyawan yang pura-pura bekerja di rumah padahal beum tentu bekerja dalam arti sebenarnya di rumah.
• Koordinasi dengan staf/ karyawan sulit jika suatu hal harus didiskusikan pada waktu tertentu. Jika ada yang didiskusikan dan memerlukan kehadiran yang bersangkutan, kadang sulit untuk menghubunginya.
• Diskusi secara on-line belum menjadi budaya kerja, bahkan masih sulit, apalagi harus menulis ! (mengetik maksudnya).

Solusi -nya ?

Sepertyi teori Y yang dikemukakan oleh Mc Gregor, pada dasarnya setiap orang mempunyai tanggung jawab sendiri dalam menyelesaikan pekerjaanya. Oleh karena itu :

• Beri kepercayaan bahwa yang bersangkutan akan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
• Beban pekerjaan yang diberikan kepada karyawan harus jelas. Berilah target, kapan suatu pekejaan harus selesai.
• Rencanakan waktu meeting sehingga untuk hal-hal yang perlu dikoordinasikan, karyawan siap hadir. Perencanaan kerja baik sangat dibutuhkan dalam kondisi seperti ini.
• Siap dihubungi kapan saja, artinya fasilitas jaringan virtual harus on-line. Bahkan jika diskusi secara on-line tetap dimungkinkan.

Bagaimana menurut Anda ?

Read More »»

Thursday, March 11, 2010

Experential Marketing

. Thursday, March 11, 2010
1 comments


Siapa yang tidak kenal Sony Ericson, saya yakin sebagian besar konsumen Indonesia familiar dengan merek ini. Meskipun bukan penguasa pasar utama di Indonesia, tetapi nama ini sangat popular untuk merek-merek handphone-nya.

Yang menarik bagi saya adalah cara memajang produk-produk Sony Ericson di gerai-gerainya. Misalnya, jika Anda berkunjung ke gerai atau service centre Sony Ericson di BEC, Anda akan merasakan pengalaman yang luar biasa dengan memegang produk-produk Sony Ericson. Meskipun itu hanya tiruan, tetapi Anda akan merasakan bahwa produk tersebut mirip dengan produk aslinya. Hampir semua produknya di pasang di meja-meja pameran gerainya sehingga Anda bisa menyentuh, memegang dan seolah mencobanya. Dan yang menarik lagi adalah setiap gerainya kelihatan apik dan menarik.

Melalui sentuhan, dan berani mencoba produknya, konsumen akan merasakan pengalaman seolah-olah memiliki produk tersebut. Hampir semua panca indera disentuh melalui pengalaman tersebut.

Dalam pemasaran, konsep seperti ini dikenal dengan Experential Marketing. Mengapa experience ? Melalui experience (pengalaman), konsumen akan merasakan produk nya. Tentu konsumen tidak ingin ‘membeli kucing dalam karung’. Konsumen biasanya ingin mencoba produknya terlebih dahulu. Jika konsumen merasakan nikmatnya mencoba produk sebelum membeli, maka pemasar akan lebih mudah mempengaruhi pembeli.

Di Sony Ericson, hampir tidak ada penjual yang mendekati para calon konsumen. Jadi konsumen seolah dibiarkan sepuasnya mencoba produk-produk yang dipajang di sana. Jika menginginkan pelayanan atau penjelasan lebih lanjut, konsumen bisa memanggil customer service yang ada di sana. Konsumen pun bisa menjadi bertambah loyal dengan produk yang sudah ‘dicobanya’.

Jika diamati, banyak perusahaan yang menggunakan teknik ini dalam merayu calon konsumennya. Test drive adalah satu contohnya. Beberapa dealer sepeda motor datang ke sekolah-sekolah agar para siswa mencoba mengendarai motornya. Toko Gramedia, membiarkan pengunjungnya untuk membaca- baca buku yang ada di tokonya. Perusahaan yang menjual alat pijat yang sering Anda temui jika Anda mengunjungi mall-mall tertentu juga membiarkan calon konsumen merasakan nikmatnya dipijat dengan alat pijat tersebut. Beberapa perguruan tinggi mengundang para siswa SMA ke kampusnya untuk merasakan ‘seolah-olah’ mereka sudah kuliah di sana. Dan banyak lagi yang lainnya.

Mereka menginginkan konsumen mengalami hal yang menyenangkan dengan produk-produknya. Konsumen menyukai experience sebagai bagian dari upaya mempelajari suatu produk. Jika konsumen senang pada waktu mencoba, complain biasanya jarang terjadi, karena konsumen sudah puas pada waktu mencobanya. Dan akhirnya loyalitas konsumen akan meningkat.

Survey yang pernah dilakukan oleh Jack Morton research, sebuah biro riset di Amerika Serikat pada tahun 2005 menunjukkan bahwa experiential marketing mempengaruhi opini mereka tentang merek dan produk. Sekitar 70% mengatakan bahwa 70% kegiatan ini meningkatkan pertimbangan mereka untuk membeli, bahkan 50% lebih bahkan membeli produknya.

Jika experiential marketing mampu mempengaruhi konsumen untuk membeli, mengapa Anda tidak mencoba menggunakan cara ini ?

Read More »»

Wednesday, March 10, 2010

Marketing Kit

. Wednesday, March 10, 2010
1 comments


Pernah suatu ketika penulis dikunjungi oleh seorang tetangga yang menawarkan suatu produk asuransi. Dengan semangatnya dia menjelaskan tentang produk-produk dan manfaatnya bagi kita serta pengalaman-pengalamannya. Presentasinya cukup meyakinkan. Namun sayangnya, ketika penulis meminta brosur dan ilustrasi lebih detail, dia tidak membawa selembar pun brosur atau sarana marketing lainnya. Penulis menjadi kecewa dan akhirnya kurang percaya kepada orang tersebut.


Berbeda dengan pengalaman penulis waktu penulis dan istri bergabung di ERA. Pada waktu presentasi kepada calon klien, penulis dibekali dengan marketing kit yang sangat lengkap. Pada waktu presentasi penulis bisa menunjukkan sebuah marketing kit dalam bentuk sebuah buku yang memuat materi presentasi secara urut sehingga presentasi pun dapat lebih meyakinkan. Selain itu, formulir-formulir secara lengkap harus dibawa pada waktu presentasi sehingga jika terjadi deal, semuanya sudah dapat diproses pada waktu itu. Demikian pentingnya sebuah marketing kit, karena dapat memberikan informasi yang lengkap kepada calon klien tanpa ada satu pun informasi yang terlewat disampaikan kepada calon klien menjadi sangat memudahkan penulis dalam melakukan presentasi kepada calon klien.


Saat ini, setiap pemasar biasanya sudah membawa sebuah lap top sehingga presentasi dapat dilakukan dengan menggunakan lap top. Bahkan ilustrasi pembayaran atau investasi dapat dijelaskan secara langsung di depan klien dengan berbagai skenario, sehingga tugas seorang pemasar pun lebih mudah.


Marketing kit memang dapat meringankan tugas seorang pemasar, namun di saat sekarang ini, masih banyak petugas pemasaran yang hanya mengandalkan ingatan semata tanpa dibekali dengan marketing yang memadai. Akhirnya calon klien yang sudah antusias mendengarkan presentasi akhirnya kecewa karena tidak mendapatkan informasi yang cukup dari pemasar.


Sudahkah Anda memiliki sebuah marketing kit untuk membantu presentasi Anda. Jika belum ada baiknya Anda mempersiapkannya. Bagi Anda seorang manajer pemasaran, marketing kit seharusnya disiapkan secara standar bagi staf pemasaran Anda, sehingga mereka mempunyai alat pemasaranyang standar yang bisa dijadikan acuan dalam melakukan presentasi pemasaran.

Read More »»